Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sejarah Masjid Pertama di Berlin

Minggu, 30 November 2008

Keunggulan Muhammad Musthafa SAW

Kelebihan Muhammad SAW dari Nabi-nabi yang lain

Kitab Suci Al-Qur’an mengungkapkan bahwa semua Nabi-nabi adalah pengikut dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. sebagaimana difirmankan:

“Kemudian datang kepadamu seorang rasul yang menggenapi wahyu yang ada padamu maka haruslah kamu beriman kepadanya dan haruslah kamu membantunya”. (S.3 Ali Imran:82).
Dari sana bisa disimpulkan bahwa semua Nabi-nabi menjadi pengikut dari Nabi Suci s.a.w. (Barahin Ahmadiyah, bag. V, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 300, London, 1984).

* * *
Hadzrat Rasulullah s.a.w. menggabung semua nama-nama para Nabi dalam wujud beliau dengan pengertian bahwa beliau memiliki semua kelebihan dari masing-masing Nabi tersebut. Dengan demikian beliau itu adalah juga Musa, Isa, Adam, Ibrahim, Yusuf dan Yakub. Hal ini diindikasikan dalam ayat:

“Mereka itulah orang-orang yang terhadap mereka Allah memberi petunjuk maka ikutilah petunjuk mereka”. (S.6 Al-Anaam:91)
yang berarti agar Hadzrat Rasulullah s.a.w. menggabungkan dalam diri beliau semua petunjuk yang berbeda-beda yang telah diturunkan kepada Nabi-nabi lain. Berarti semua kehormatan dari para Nabi-nabi telah menjadi satu dalam diri Nabi Suci s.a.w. dan karena itu jugalah nama beliau sebagai Muhammad berkonotasi yang amat terpuji karena pujian luhur seperti itu hanya bisa dibayangkan jika semua keunggulan dan sifat-sifat khusus para Nabi lainnya menjadi satu dalam wujud Nabi Suci s.a.w. Banyak ayat di dalam Kitab Al-Qur’an yang menyatakan secara tegas bahwa wujud Nabi Suci s.a.w. karena keluhuran fitratnya adalah merupakan gabungan dari para Nabi lainnya. Setiap Nabi yang pernah ada akan bisa menemukan keterkaitan dirinya dengan beliau sehingga menubuatkan bahwa beliau akan datang atas nama dirinya.

Di suatu tempat Al-Qur’an mengemuka¬kan bahwa Hadzrat Rasulullah s.a.w. memiliki kedekatan yang sangat dengan Nabi Ibrahim a.s. (S.3 Ali Imran:69)10. Dalam salah sebuah hadith Bukhari, Hadzrat Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa beliau memiliki hubungan yang dekat dengan Nabi Isa a.s. dn bahwa wujud beliau menjadi satu dengan wujud Nabi Isa tersebut. Hal ini mengkonfirmasikan nubuatan Nabi Isa a.s. yang menyatakan bahwa Nabi Suci s.a.w. akan muncul dengan namanya dan begitu jugalah yang terjadi ketika Al-Masih kita datang untuk menyelesaikan karya dari Al-Masih Nasrani dan memberi kesaksian atas kebenaran dirinya serta membebaskannya dari fitnah yang dilontarkan oleh umat Yahudi dan Kristen dan dengan cara demikian telah memberikan ketenteraman pada ruh dari Nabi Isa a.s. (Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 5, hal. 343, London, 1984).
* * *
Wahyu Ilahi merupakan cermin dimana sifat-sifat sempurna daripada Allah yang Maha Agung bisa dilihat, dan kemampuan melihat ini tergantung kepada kadar kebersihan daripada Nabi yang menjadi penerima wahyu. Mengingat Hadzrat Rasulullah s.a.w. derajatnya jauh melampaui semua Nabi-nabi dalam masalah kemurnian jiwa, daya serap penalaran, kesucian, kerendahan hati, ketulusan, kepercayaan, ketaatan dan cintanya kepada Tuhan maka Allah yang Maha Luhur telah mengurapi beliau dengan wewangian khusus yang jauh lebih harum daripada para Nabi lainnya. Dada dan hati beliau yang lebih jembar, suci, polos, cemerlang dan welas asih dianggap lebih berhak menerima wahyu Ilahi yang paling sempurna, lebih kuat, lebih luhur dan lebih lengkap dibanding wahyu yang diturunkan kepada mereka sebelum atau setelah beliau. Karena itulah maka Kitab Al-Qur’an memiliki keunggulan yang demikian luar biasa sehingga kecemerlangan semua Kitab-kitab yang diwahyukan sebelum¬nya menjadi suram dibanding keperkasaan Nur dari Al-Qur’an.
Tidak ada penalaran yang mampu mengemukakan suatu kebenaran baru yang tidak terdapat di dalam Kitab Al-Qur’an dan tidak ada argumentasi yang belum direpresentasikan di dalamnya. Tidak ada kata-kata yang bisa demikian mempengaruhi hati seperti firman-firman perkasa yang menjadi berkat bagi jutaan hati manusia. Tidak diragukan lagi bahwa Kitab ini merupakan cermin jernih yang merefleksikan sifat-sifat sempurna Ilahiah dimana semuanya bisa ditemukan apabila diinginkan seorang pencari kebenaran untuk mencapai tingkat pemahaman tertinggi. (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 71-72, London, 1984).
* * *
Karena Hadzrat Rasulullah s.a.w. adalah sebaik-baiknya Nabi dan memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding semua Rasul dan karena Allah s.w.t. juga mentakdirkan beliau sebagai penghulu dari semua Nabi maka sepantasnya pula jika beliau dinyatakan kepada dunia sebagai manusia yang lebih baik dan lebih luhur dari semuanya. Karena itu maka Allah yang Maha Agung meluaskan penyebaran berkat-Nya kepada seluruh umat manusia agar segala usaha dan upaya beliau dapat dimanifestasikan secara umum dan tidak terbatas pada satu bangsa tertentu sebagaimana halnya dengan ajaran Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. Dengan demikian karena aniaya yang ditimpakan kepada beliau dari segala jurusan dan oleh berbagai jenis bangsa maka sewajarnya beliau berhak atas ganjaran akbar yang tidak akan diberikan kepada Nabi-nabi lainnya. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 653-654, London, 1984).
* * *
Adalah menjadi keyakinanku bahwa misalnya, dengan mengesampingkan Nabi Suci s.a.w., jika semua Nabi-nabi yang mendahului beliau itu digabungkan untuk melaksanakan tugas-tugas mereka serta melancarkan reformasi yang dibawa oleh Nabi Suci s.a.w. maka mereka semua itu tidak akan ada yang mampu. Mereka tidak ada memiliki tekad dan kekuatan sebagaimana yang telah dikaruniakan kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. Kalau ada seseorang yang menyatakan bahwa apa yang aku kemukakan ini sebagai penghinaan kepada Nabi-nabi lain maka sama saja dengan orang itu telah mengutarakan fitnah terhadap diriku. Adalah bagian dari keimananku untuk menghormati dan menghargai Nabi-nabi tersebut, hanya saja Hadzrat Rasulullah s.a.w. berada di atas semuanya. Nabi-nabi yang lain merupakan bagian dari keimananku juga dan keseluruhan diriku diresapi oleh keimanan demikian. Adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan diriku untuk meniadakannya. Biarlah para lawanku yang buta mengatakan apa yang mereka mau, yang jelas Nabi Suci kita telah melaksanakan tugas yang jika pun dikerjakan secara bersamaan atau pun sendiri-sendiri oleh para Nabi lain, tetap saja mereka tidak akan mampu melaksanakannya. Hal ini merupakan rahmat Allah s.w.t. yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. (Malfuzat, vol. II, hal. 174).
* * *
Kitab suci umat Yahudi jelas menyatakan bahwa seorang juru selamat seperti Musa a.s. akan dikirimkan kepada mereka. Berarti bahwa juru selamat ini akan muncul ketika umat Yahudi sedang mengalami keadaan penderitaan dan penghinaan mirip dengan keadaan pada masa Firaun dahulu. Mereka akan diselamatkan dari siksaan dan penghinaan jika mereka mau beriman kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa sosok yang ditunggu-tunggu umat Yahudi selama berabad-abad tersebut serta yang telah dinubuatkan oleh Kitab Taurat adalah junjungan dan penghulu kita Hadzrat Muhammad s.a.w. Ketika beberapa suku Yahudi beriman kepada beliau, lalu muncullah di antara mereka beberapa raja-raja agung11. Hal ini menjadi bukti bahwa Allah yang Maha Kuasa telah mengampuni dosa-dosa mereka karena mereka menerima Islam dan mengasihi mereka sebagaimana dijanjikan dalam Taurat. (Ayyamus Sulh, Qadian, Ziaul Islam Press, 1899; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 14, hal. 302-303, London, 1984).
* * *
Keagungan yang dikaruniakan kepada Nabi Isa a.s. adalah karena beliau mengikuti Hadzrat Muhammad s.a.w. karena Nabi Isa telah diberitahukan mengenai Nabi Suci ini dan beliau beriman kepadanya dan dengan demikian mencapai keselamatan berkat keimanannya tersebut. (Al-Hakam, 30 Juni 1901, hal. 3).
* * *
Sekarang akan kita bandingkan Nabi Isa a.s. dengan Nabi Suci s.a.w. berkaitan dengan perlakuan para pemerintahan atau raja-raja pada masa itu terhadap mereka dan bagaimana manifestasi dari harkat keagungan dan bantuan Ilahi kepada mereka masing-masing. Dari hasil telaah akan kita temui bahwa berbeda dengan Hadzrat Rasulullah s.a.w. ternyata Nabi Isa a.s. selain tidak ada menunjukkan sifat-sifat ketuhanannya bahkan beliau ini gagal memperlihat¬kan tanda-tanda sebagai seorang Nabi.
Ketika Hadzrat Rasulullah s.a.w. mengirimkan pesan kepada para penguasa atau raja-raja di masa itu, Kaisar Roma ketika menerima pesan beliau menarik nafas panjang mengeluhkan bahwa ia terperangkap di antara umat Kristiani dan kalau saja ia orang merdeka maka ia akan berbangga hati untuk bisa menghadap Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan membasuh kaki beliau sebagaimana laiknya seorang hamba sahaya.

Namun raja yang berhati kejam yaitu Khosroe dari Iran merasa terhina dan mengirimkan dua orang prajurit untuk menangkap Hadzrat Rasulullah s.a.w. Mereka tiba di Medinah menjelang senja dan memberitahu¬kan kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. bahwa mereka dikirim untuk menangkap beliau. Beliau mengabaikan apa yang mereka kemukakan dan mengajak mereka untuk masuk Islam. Saat itu beliau sedang berada di dalam mesjid ditemani oleh tiga atau empat orang sahabat namun nyatanya utusan raja itu bergetar tubuhnya karena pesona beliau. Pada akhirnya mereka bertanya, jawaban apakah yang harus mereka bawa kepada raja mereka berkaitan dengan tugas penangkapan beliau itu. Hadzrat Rasulullah s.a.w. meminta mereka untuk menunggu sampai besok hari. Keesokan harinya ketika mereka menghadap, beliau berkata kepada mereka:
“Ia yang kalian sebut sebagai raja dan tuhan adalah bukan tuhan sama sekali. Tuhan adalah wujud yang tidak akan pernah mengalami kerusakan atau kematian. Tuhan kalian telah terbunuh tadi malam. Tuhan-ku yang sesungguhnya telah mendorong Sherweh melawan dirinya dan tadi malam ia telah dibunuh oleh tangan putranya sendiri. Inilah jawabanku.”.
Kejadian ini merupakan mukjizat akbar dimana sebagai kesaksiannya maka beribu-ribu bangsa negeri itu lalu beriman kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. karena merupakan suatu kenyataan bahwa Khusro Pervez sang Khosroe Iran telah terbunuh malam itu. Hal ini bukanlah suatu pernyataan samar-samar sebagaimana yang diajukan oleh Kitab Injil mengenai kemenangan Nabi Isa a.s. namun didukung oleh fakta sejarah. Mr. Davenport juga ada mengemukakan hal ini dalam bukunya.

Berbanding terbalik dengan hal di atas, bagaimana kurang ajarnya perlakuan penguasa di masa Nabi Isa a.s. terhadap beliau sudah sama diketahui. Barangkali Kitab Injil masih ada mengungkapkan bagaimana Herodes12 telah mengirimkan Nabi Isa a.s. kepada Pontius Pilatus sebagai seorang tertuduh. Yesus ditahan beberapa waktu dalam penjara namun sifat ketuhanannya ternyata tidak ada muncul. Tidak ada satu pun raja datang menawarkan dengan berbangga hati bersedia melayani dan membasuh kaki beliau. Pilatus kemudian menyerahkan nasib Yesus kepada umat Yahudi.
Apakah ini merupakan tanda ketuhanannya? Betapa berbedanya keadaan di antara kedua sosok manusia yang menghadapi keadaan yang sama tetapi dengan akhir yang jauh berbeda. Di satu sisi seorang raja yang angkuh telah digoda Syaitan untuk menangkap seorang yang mengaku sebagai Nabi namun dirinya kemudian ditimpa kutukan Ilahi dan mati terbunuh secara hina di tangan putranya sendiri. Pada sisi lain seseorang yang diangkat oleh para pengikutnya naik ke surga malah nyatanya mengalami penangkapan, penahanan dan diusung sebagai seorang pesakitan dari satu kota ke kota lain.
(Noorul Qur’an, no. 2, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 9, hal. 384-386, London, 1984).
Read More...

Islam Agama Universal

ISLAM ADALAH AGAMA YANG UNIVERSAL

Berulangkali al-Qur’an menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang ajarannya terkait dengan fitrat manusia. Islam menekankan bahwa suatu agama yang berakar pada fitrat manusia tidak akan berubah. Dengan demikian agama yang benar-benar berakar pada fitrat manusia tidak akan mengalami perubahan asal saja agama itu tidak terlalu mencampuri situasi-situasi transien manusia dalam kurun waktu manapun dalam sejarah kehidupannya. Bila agama tersebut tetap bersiteguh pada prinsip-prinsip yang bersumber pada fitrat manusia maka agama itu memiliki potensi menjadi agama universal.

Islam malah selangkah maju dalam hal ini. Dengan hati yang lapang Islam menyatakan bahwa semua agama didunia sedikit banyak juga sama memiliki sifat universal tersebut. Dengan kata lain, dalam setiap agama samawi dapat ditemukan inti ajaran yang terkait dengan fitrat manusia dan kebenaran abadi. Inti ajaran agama itu tidak berubah kecuali jika pengikutnya mencemari ajaran itu dikemudian hari.
Ayat berikut menjelaskan hal diatas :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(al-Bayyinah [98]:6)
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,(ar-Rum [30]: 31)

Berdasarkan pandangan diatas muncul pertanyaan lalu apa gunanya menurunkan agama semi agama yang ajarannya sama. Selanjutnya mungkin orang akan bertanya pula mengapa Islam mengaku bahwa ia secara relatif lebih universal dan sempurna dibanding semua ajaran agama sebelumnya.
1.) Untuk menjawab pertanyaan pertama al-qur’an menjelaskan bahwa berdasar fakta historis, semua kitab dan Naskah suci yang turun sebelum Islam telah mengalami perubahan. Ajaran kitab itu berangsur-angsur mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan memasukkan unsur baru secara interpolasi sehingga kemurniannya menjadi diragukan.
Dengan demikian menjadi kewajiban para pengikut agama-agama tersebut membuktikan kesahihan kitab-kitab mereka. Al-qur’an sendiri memiliki keunikan dibanding kitab-kitab dan naskah suci lainnya, bahkan musuh-musuh Islam yang paling gigih dalam menyangkal al-qur’an sebagai kitab yang diwahyukan, mengakui bahwa al-qur’an tidak mengalami perubahan sejak diturunkan kepada Muhammad s.a.w.
Misalnya kutipan berikut :
There is otherwise every security, internal and external that we possess the text which, Mohamet himself gave forth and used (h.xxvii, Life of Mohamet, Sir William Muir, London 1878)
We may upon the strongest assumption, affirm that every verse in the Qur’an is genuine and unaltered composition of Mohamet himself (h.xxviii Life of Mohamet, Sir William Muir, London 1878)
Slight clerical error there may have been, but the Qur’an of Othman contains none but genuine elements, thought sometimes in very strange order. The efforts of European scholars to prove the existence of later interpolations in the Qur’an have failed (Prof. Noldeke in Encyclopedia Britannica 9th Edition , title Qur’an)

Lain lagi kalau kita bicara mengenai kontroversi tentang kitab mana yang dikarang oleh siapa. Sebuah kitab dari kalangan ahli kitab yang diragukan kesahihannya berasal dari Tuhan nyatanya memang berasal dari wahyu Tuhan yang sama, hanya saja di kemudian hari terjadi kontradiksi akibat interpolasi, campur tangan manusia. Jadi jelas dalam hal ini sikap Al-Qur’an adalah yang paling realis dan kondusif dalam mewujudkan perdamaian antar umat beragama.
2). Adapun mengenai pertanyaan kedua, Al-Qur’an mengingatkan kita akan adanya proses evolusi diseluruh sisi masyarakat manusia. Agama baru tidak hanya dibutuhkan sebagai restorasi agama lama melainkan juga mutlak diperlukan oleh agama lama dalam mengadaptasi kemajuan sejalan dengan perkembangan evolusi masyarakat.
3). Tidak cukup itu saja ada faktor lain yang ikut berproses dalam perubahan masyarakat adalah kurun waktu dimana ajaran itu diturunkan guna memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu pula dan dalam periode yang terbatas. Dengan kata lain agama tidak saja terdiri dari ajaran pokok berupa prinsip-prinsip yang baku melainkan pula diikuti dengan ajaran-ajaran tambahan.
4). Yang terakhir yang patut dipahami adalah, manusia tidak memperoleh pelatihan dan pendidikan dalam ajaran samawi dalam satu kali saja. Manusia dibawa secara bertahap hingga ke tingkat kedewasaan mental dimana ia telah cukup matang dan siap dalam menerima keseluruhan prinsip-prinsip dasar yang diperlukan sebagai bimbingan baginya. Menurut pandangan Al-Qur’an, ajaran kedua yang terkait erat berdasarkan pada prinsip yang fundamendal dan baku juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam sebagai agama yang sempurna (an-Nisaa' [4]: 14-16)
Hal diatas merupakan sebuah konsep universal dari Islam. Terpulang kepada manusia apakah mereka mau meneliti dan menilai kelebihan agama yang dibandingkannya.
Sekarang kita kembali kepada pertanyaan, mengenai agama-agama yang menyatakan dirinya lah yang ungggul dibanding yang lainnya. Islam menyatakan demikian. Melalui nubuatan Al-Qur’an menyatakan diri pada suatu waktu akan menjadi agama yang terunggul bagi umat manusia.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci.(As-Shaf [61]: 10)
Walau Islam menghendaki berkembangnya perdamaian dan kerukunan antar umat beragama, namun Islam tidak melarang penyebaran ajaran dan idiologinya secara kompetitif dengan tujuan memperoleh keunggulan dibanding agama lainnya.
Mengenai Rasulullah saw Al-Qur’an menyatakan :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".(al-A’raf [7]: 159)
Namun untuk menghindari perselisihan dan kesalahpahaman, Islam memberikan seperangkat petunjuk yang jelas guna memastikan kebebasan berkompetisi secara adil diantara agama-agama dalam hal menyatakan pendapat dan termasuk berbeda pendapat.(Mirza Tahir Ahmad,Islam’s response to contemporary issues)
Read More...

Islam dan Toleransi

Toleransi sebagai Habitus Baru
by Zuhairi Misrawi (Gus Mis)
http://zuhairimisrawi.wordpress.com/2008/11/17/toleransi-sebagai-habitus-baru/#more-156

“Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural, yaitu rekonsiliasi antara demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran dan ekstremisme.”[1]

Itulah wasiat terakhir yang disampaikan oleh mendiang Benazir Bhutto. Ia juga menyebutkan sejumlah cendekiawan muslim yang dianggap telah memberikan sumbangsih bagi rekonsiliasi demokrasi dan moderasi, diantaranya KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Di samping beberapa pemikiran Muslim lainnya, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Khalid Masud (Pakistan) Muhammad Arkoun (Aljazair), dan Wahiduddin Khan (India).[2]

Demokrasi dan moderasi atau demokrasi dan toleransi ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Satu sama lain saling menyempurnakan. Bila salah satu di antara keduanya hilang, maka lenyap pula kekuatan yang lainnya. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan psedo-toleransi, yaitu toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Sebab itu, demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil.

Menurut Rainer Forst ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu konsepsi yang dilandasi otoritas perizinan yang dilakukan oleh negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception).[3] Dalam hal ini, Forst lebih memilih agar toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras dan bahasa.

Memang, sejauh ini toleransi diandaikan oleh banyak pihak sebagai durian yang jatuh dari langit. Kekuasaan dianggap sebagai faktor determinan dalam membangun toleransi. Jika negara sudah membuat peraturan yang menegaskan pentingnya toleransi dan kerukunan bagi sesama warga negara, semuanya dianggap taken for granted. Negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang bisa menyulap intoleransi menjadi toleransi.

Lain anggapan, lain pula realitasnya. Sebab belajar dari pengalaman, betapa bagusnya kebijakan publik yang dibuat oleh negara kerapkali sulit diterjemahkan dalam realitas. Ada beberapa hal yang menyebabkan kenapa toleransi sulit ditransformasikan dalam realitas keragaman yang ada dalam sebuah negara. Di antaranya, negara sendiri terdiri dari pelbagai entitas yang mempunyai mindset kurang lebih cenderung kepada intoleransi, daripada toleransi. Apalagi, entitas tersebut hanya memahami demokrasi secara prosedural, yaitu hegemoni mayoritas atas minoritas atau sebaliknya, ketundukan minoritas atas mayoritas.

Sementara itu, negara tidak mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dalam rangka menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan. Akibatnya, kelompok minoritas senantiasa berada di bawah ancaman kelompok yang mengklaim sebagai kelompok mayoritas. Lalu, pertanyaannya dari mana kita mesti memulai untuk membangun toleransi?

Dua Modal

Richard H. Dees (1999) memberikan resep yang sejauh ini merupakan cara terbaik untuk mengukuhkan toleransi, khususnya dalam masyarakat plural. Yaitu toleransi sebagai nilai dan kebajikan.[4] Menurut dia, masalah utama toleransi selama ini, karena toleransi dipahami sebagai modus vivendi, yaitu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam persetujuan hitam di atas putih. Toleransi pada level ini mempunyai kelemahan yang bisa bertentangan dengan spirit toleransi, karena rentan terjerambab dalam kepentingan kelompok tertentu, terutama bilamana pihak mayoritas menjadikan otoritasnya untuk menentukan arah dan acuan dari kesepakatan toleransi. Toleransi pada model ini bisa menjadi jalan tol bagi munculnya tindakan intoleran, karena toleransi yang dibangun hanya di permukaan saja, yang biasa dikenal dengan toleransi politis.

Di Perancis, pada abad ke-16, Henri IV mengeluarkan sebuah dekrit tentang toleransi, yang diantara butir-butirnya berisi tentang upaya mengakhiri konflik yang berbasis agama antara umat Katolik dan Protestan. Dekrit tersebut disetujui oleh kedua belah pihak. Kalangan Protestan mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mendapatkan otonomi khusus di daerah bagian selatan dan barat, yang didominasi oleh kalangan Protestan.

Hanya saja, dalam realitasnya kesepakatan tersebut tidak benar-benar diimplementasikan oleh kedua belah pihak. Huguenot, komunitas Protestan di Perancis, kerapkali dicurigai oleh orang-orang Katolik. Intinya, kedua belah pihak tidak mampu menumbuhkan kepercayaan di antara mereka, khususnya pada tahun 1593 setelah Henri IV melakukan konversi ke Katolik, yang menyebabkan makin kuatnya dominasi kelompok Katolik.

Kedua komunitas tersebut sebenarnya mempunyai cita-cita yang luhur untuk membangun kedamaian, dan pemerintahan Henri IV berada di garda terdepan untuk mewujudkan toleransi menjadi kenyataan. Masing-masing kelompok mendapatkan jaminan kebebasan untuk melaksanakan pandangan keagamaannya. Bahkan kedua kelompok tersebut bersama-sama menyepakati traktat perdamaian dan toleransi.

Masalahnya muncul ketika Henri IV tewas pada tahun 1610 di tangan penganut fanatik Katolik. Kematian Henri menjadi awal dari bencana intoleransi. Sebab kedua kelompok tersebut kehilangan kepercayaan untuk mengawal kesepakatan toleransi yang telah berlangsung puluhan tahun. Sementara, benih-benih intoleransi mulai tumbuh di antara masing-masing kelompok dengan mengobarkan api pertikaian bersamaan dengan meninggalnya Henri IV, tokoh yang mengawal toleransi dan perdamaian. Sementara kalangan Protestan juga terpancing untuk melakukan perlawanan terhadap kalangan Katolik.

Pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman toleransi dan intoleransi di atas, bahwa toleransi sebagai modus vivensi sangat ditentukan oleh kekuatan politis yang berbasis ketokohan. Dan yang terpenting, masing-masing kelompok tidak memahami betul perihal pentingnya toleransi, baik di saat ada persetujuan hitam di atas putih maupun tidak ada.

Di Arab, tepatnya di Madinah, persetujuan serupa juga pernah dideklarasikan yang biasa disebut dengan mitsaq al-madinah (Piagam Madinah). Di atas kertas, piagam tersebut mampu membangun toleransi yang berbasis kesepakatan di antara kelompok agama-agama, khususnya Islam dan Yahudi. Namun dalam perjalanan sejarah, persetujuan tersebut mudah dilanggar karena belum menguatnya pemahaman tentang pentingnya toleransi dalam masyarakat plural. Mereka hanya mau bertoleransi di atas kertas, tapi sulit untuk menerjemahkannya dalam realitas politik yang plural. Lalu, sebenarnya apa masalah utamanya?

Dees mengajukan proposal rekonstruktif perihal pentingnya mengukuhkan toleransi di tengah ancaman intoleransi, yaitu meneguhkan toleransi sebagai kebajikan (toleration as a virtue). Di samping toleransi sebagai hak setiap individu (tolerance as good in its own right).[5]

Menurut dia, toleransi pada tingkatan sebagai kebajikan dan hak setiap individu menempati maqam tertinggi, karena toleransi bisa menembus dua ruang sekaligus, yaitu ruang politik dan ruang masyarakat sipil. Ada dan tidak adanya modus vivendi, toleransi merupakan nilai yang niscaya dalam masyarakat plural. Di satu sisi, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif yang didukung oleh etika masing-masing kelompok agama dan kepercayaan, tetapi juga harus disadari bahwa hak setiap individu untuk hidup berdampingan secara damai dan menjunjung tinggi kebebasan berkelompok.

Dalam hal ini, jalan menuju toleransi merupakan proses yang tidak mudah. Kesepakatan hitam di atas putih sudah terbukti tidak begitu kuat untuk membangun toleransi pada tataran praksis. Toleransi sebagai modus vivendi, bahkan bisa berakibat negatif, karena kelompok mayoritas dengan mudah menggunakan otoritasnya untuk melanggar kesepakatan dengan cara melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi.

Di sini, Dees membandingkan antara pengalaman Perancis Pra-Revolusi Perancis dengan pengalaman Inggris. Menurut dia, toleransi dalam bentuk modus vivendi di Inggris, khususnya setelah munculnya traktat toleransi pada tahun 1689 lebih kukuh dibandingkan di Perancis, karena toleransi yang dipraktikkan di Inggris mampu menerjemahkan nilai-nilai yang paling mendasar dalam toleransi (deeper toleration). Dengan kata lain, toleransi di Inggris sudah mampu menjadikan toleransi sebagai kebajikan dan hak setiap individu.

Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi: Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan yang intensif (conversation). Di Inggris, semua kelompok didorong untuk menggali nilai-nilai toleransi sebagai kebajikan. Masing-masing kelompok, terutama kelompok minoritas diperlakukan secara adil dan setara, baik dalam ranah politik, ekonomi maupun agama. Mereka dilindungi oleh negara melalui sistem demokrasi. Mereka juga bebas melakukan aktivitas perekonomian. Selain itu, mereka dapat melakukan peribadatan secara bebas dan otonom. Di samping itu, kelompok mayoritas tidak melakukan penetrasi politik terhadap kelompok minoritas.

Kata kuncinya adalah kelompok minoritas mendapatkan hak otonom dalam pelbagai bidang kehidupan sebagai jaminan untuk melakukan interaksi dan pergaulan yang bersifat lintas batas kelompok dan golongan. Tidak seperti pengalaman Perancis pada abad 16 dan 17, yang mana kelompok minoritas tidak mempunyai hak otonom. Di samping kelompok mayoritas kerapkali menggunakan dalih politis untuk menyerang kelompok minoritas.

Kedua, membangun saling percaya diri di antara pelbagai kelompok dan aliran (mutual trust). Di Inggris, cara terbaik untuk membangun toleransi, yaitu menumbuhkan semangat kesatuan yang dibangun di atas pilar kebangsaan. Di saat muncul polarisasi antara kelompok yang mendukung nasionalisme Inggris dan kelompok anti-katolisisme, maka sebagian besar memilih nasionalisme sebagai alternatif yang terbaik. Alasannya, karena nasionalisme merupakan paham yang bisa membangun rasa saling percaya diri. Konsekuensinya, mereka menolak mentah-mentah pelbagai bentuk gerakan dan tindakan yang bernuansa intoleransi. Sebab kepercayaan suatu kelompok terhadap kelompok yang lain tidak akan tumbuh jika intoleransi menjadi kesadaran kolektif sebuah kelompok.

Sebab itu, salah satu caranya adalah menumbuhkan keinginan untuk berbagi nilai tentang toleransi dan mengubur pelbagai kebencian dan kecurigaan, terutama yang berbasis paham keagamaan. Di sini, semangat kebangsaan dapat membangun saling percaya diri, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Apapun aliran dan golongannya, mereka berada dalam satu payung bangsa yang sama.

Menurut Dees, dalam kaitannya dengan membangun saling percaya diri, ada anggapan bahwa toleransi dulu, lalu membangun saling percaya diri. Nalar seperti ini tidak bisa diterima. Belajar dari pelbagai pengalaman toleransi, khususnya di Inggris, yang harus dibangun adalah saling percaya diri, bahwa mereka akan diperlakukan sama di depan hukum, tidak ada satupun kelompok yang diintimidasi. Maka, logikanya adalah membangun saling percaya terlebih dahulu, baru akan terbit toleransi. Bukan toleransi, lalu saling percaya.

Jadi, Interaksi sosial melalui pergaulan dan percakapan yang intensif, disertai dengan upaya membangun saling percaya diri merupakan dua hal yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan pemahaman toleransi sebagai kebajikan.

Kegagalan Perancis dan Keberhasilan Inggris di masa lalu menginspirasikan bahwa membangun toleransi bukan hanya kuasa negara, tetapi juga kuasa nilai yang diberlakukan dalam sebuah masyarakat. Toleransi bukanlah proses yang langsung jadi, melainkan kehadiran nilai yang mengakar kuat di tengah masyarakat, khususnya melalui perjumpaan dan dialog untuk membangun percaya diri.

Di Palestina, toleransi antar-agama khususnya Islam-Kristen berjalan dengan sangat baik. Buktinya, kalangan Kristen bisa hidup berdampingan dengan kalangan Muslim. Di jalur Gaza, yang selama ini terlibat konflik sengit dengan Israel, terdapat sekitar 3000 umat Kristiani. Mereka juga menggunakan bahasa Arab dalam kesehariannya, sebagaimana kalangan Muslim. Setidaknya, ada tiga gereja di jalur Gaza, yaitu Perofesius, Gereja Latin dan Gereja Injil.[6]

Di Jerussalem, umat Islam, Kristiani dan Yahudi bisa hidup berdampingan, bahkan diantara mereka melakukan kawin-mawin. Mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Arab.

Sebagaimana di Inggris, keberhasilan toleransi antar-agama di Palestina dan Jerussalem dikarenakan kehendak dari pelbagai kalangan untuk membangun visi kebangsaan yang dapat melindungi seluruh kelompok. Mereka aktif melakukan komunikasi dan membangun saling rasa percaya. Kendatipun situasi di perbatasan berkecamuk, tetapi hal itu tidak memupuskan mereka untuk membangun toleransi.

Hal serupa sebenarnya terjadi di Irak, Suriah, Mesir, Maroko, Libanon dan beberapa negara Arab lainnya. Mereka mempunyai pengalaman toleransi yang menarik untuk dijadikan contoh, karena mereka telah mampu memahami toleransi sebagai kebajikan yang harus diutamakan dalam rangka menjaga keutuhan bangsa.

Dengan demikian, membangun toleransi sangat terkait dengan sejauhmana publik memahami perihal toleransi sebagai kebajikan yang dibangun di atas keinginan untuk hidup berdampingan secara damai.

Strata Toleransi

Beberapa penjelasan di atas, dapat dijadikan sebagai pijakan untuk melihat sejauh mana strata toleransi dipraktekkan dalam sebuah masyarakat. Sejauh ini ada tiga model toleransi: Pertama, masyarakat yang masuk dalam katagori tanpa-toleransi (zero-tolerance). Masyarakat yang masuk dalam katagori ini pada umumnya belum mampu menjadikan toleransi sebagai kebajian, sebagaimana di Inggris dan tidak pula mempunyai kesepakatan yang mampu menyadarkan mereka tentang pentingnya toleransi, sebagaimana di Perancis. Toleransi sebagai a virtue dan modus vivendi sama sekali tidak muncul ke permukaan. Contoh yang paling nyata adalah Sudan dan Rwanda. Kedua negara ini senantiasa berada dalam ancaman intoleransi, karena tidak mempunyai modal toleransi, baik secara kultural maupun struktural.

Kedua, masyarakat yang masuk dalam katagori toleransi relatif (relative tolerance). Pada umumnya, negara-negara modern sudah masuk dalam katagori ini, karena mereka mempunyai kesepakatan atau kebijakan publik yang secara eksplisit menjadikan toleransi sebagai bagian terpenting dalam paket domokratisasi. Tugas membangun toleransi bersifat top down. Dipaksakan dari atas ke bawah.

Sebagaimana dijelaskan di atas, katagori ini bisa dikatakan relatif baik, tetapi juga mempunyai kelemahan, karena tidak bisa bersifat permanen. Segala sesuatunya tergantung kepentingan politik dan karakter penguasa. Dalam sejarahnya, toleransi yang dibangun diatas kesepakatan politik tidak jarang menimbulkan konflik sosial dan pertikaian.

Ketiga, masyarakat yang masuk dalam katagori toleransi aktif (active tolerance). Katagori ini, harus diakui merupakan katagori terbaik dan paling ideal, karena toleransi telah menjadi nalar dan tingkah laku setiap individu. Masing-masing kelompok memahami dengan sangat baik, bahwa toleransi merupakan kebajikan dan hak setiap individu. Nalar mayoritas-minoritas dikubur hidup-hidup dan digantikan dengan paradigma kesetaraan. Di samping itu, toleransi sebagai kebajikan juga diperkuat oleh kebijakan publik yang secara nyata mendorong dan membumikan toleransi. Negara-negara yang menerapkan multikulturalisme sebagai kebijakan publik, pada umumnya merupakan contoh paling baik.

Dalam konteks keindonesiaan, tentu saja masalahnya tidak kalah rumit, karena potensi untuk menjadi zero-tolerance dan active tolerance sama-sama ada. Sejauh ini, negara kita bisa dikatakan sebagai relative tolerance, karena mempunyai kebijakan publik yang mewadahi kerukunan dan toleransi.

Namun masalahnya, kekerasan dan ancaman terhadap kelompok minoritas masih menjadi fakta yang setiap saat muncul ke permukaan. Bila fakta ini tidak disikapi dengan serius, maka akan menjadi api yang dapat membakar tungku intoleransi, yang pada akhirnya akan menghilangkan panorama toleransi yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam perjalanan bangsa.

Sebaliknya, jika toleransi dapat dipahami oleh publik sebagai kebajikan melalui interaksi sosial dan sikap saling percaya di antara pelbagai kelompok, maka harapan untuk membangun toleransi yang aktif bukanlah hal yang mustahil. Di sini, upaya menjadikan toleransi sebagai habitus baru dalam berbangsa dan bernegara merupakan sebuah keniscayaan.

Maka dari itu, Abdul Husein Sya’ban menegaskan bahwa menggali khazanah toleransi merupakan sebuah keniscayaan agar kebajikan dan kearifan menjadi panglima di tengah dunia yang sedang dirundung kekerasan yang mengglobal.[7] Belajar dari masa lalu dan memperkaya nilai-nilai toleransi merupakan tugas yang mesti diemban oleh setiap individu.
Read More...

Penganut Islam Mendapatkan Kemajuan

Kemajuan Progresif Karena Menganut Islam

Ketika aku merenungi keseluruhan firman Allah s.w.t., aku menemukan bahwa ajaran-ajarannya itu berusaha memperbaiki kondisi alamiah manusia dan mengangkatnya selangkah demi selangkah ke tingkat keruhanian yang lebih tinggi.

Pada tahap awal, Allah s.w.t. bermaksud mengajar manusia ketentuanketentuan yang bisa disebut dasar, melalui mana merubah kondisinya dari taraf binatang liar ke derajat akhlak tingkat rendah yang bisa dikatakan sebagai kebudayaan atau tamadhun. Kemudian Dia melatih dan mengangkat manusia dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan akhlak yang lebih tinggi. Sebenarnya perubahan kondisi alamiah demikian semua itu adalah satu kegiatan, hanya saja terdiri dari beberapa tingkatan. Allah yang Maha Bijaksana telah memberikan sistem akhlak yang sedemikian rupa sehingga manusia bisa merambat dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan yang lebih tinggi. Tingkat ketiga dari perkembangan demikian itu adalah manusia berupaya memperoleh kecintaan dan keridhoan Pencipta-nya dimana keseluruhan wujud dirinya diabdikan kepada Allah s.w.t. Pada tingkat inilah keimanan para Muslim disebut sebagai Islam yang bermakna penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. tanpa ada yang tersisa. (Islami Usulki Philosophy, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 10, hal. 324, London,1984)
Read More...

Agama Islam,Syariat Tuhan

Islam Agama Yang Benar

Ada dua persyaratan bagi sebuah agama yang mengaku berasal dari Tuhan. Pertama adalah agama tersebut harus bersifat demikian komprehensif, sempurna, lengkap tanpa kekurangan dan bersih dari segala cacat dan noda dalam akidah, ajaran dan
perintah-perintahnya, dimana fikiran manusia tidak mungkin merumuskan yang lebih baik lagi. Agama ini harus berada di atas dari semua agama lain menyangkut persyaratanpersyaratan tersebut. Hanya Al-Quran yang mengajukan klaim untuk itu dengan menyatakan:
“Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagi manfaatmu, dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku sukai bagimu Islam sebagai agama”. (S.5 Al-Maidah:4).

Dengan kata lain, Allah s.w.t. meminta kita untuk menyelaraskan diri kita kepada realita yang inheren (melekat)di dalam kata Islam. Disini ada pengakuan bahwa Al-Quran merupakan ajaran yang sempurna dan bahwa saat turunnya Al-
Quran merupakan saat dimana ajaran sempurna tersebut sudah bisa diungkapkan kepada manusia. Hanya Al-Quran yang layak membuat pengakuan demikian, tidak ada kitab samawi lainnya yang pernah mengajukan pernyataan seperti itu. Baik kitab
Taurat mau pun Injil tidak mau memberikan pernyataan demikian. Sebaliknya malah, karena kitab Taurat mengemukakan perintah Tuhan bahwa Dia akan
membangkitkan seorang Nabi dari antara para saudara Bani Israil dan akan meletakkan Firman-Nya dalam mulut Nabi itu dan barangsiapa tidak mau membuka telinganya bagi firman Tuhan tersebut akan dimintakan pertanggungjawaban1. Dari
hal ini menjadi jelas bahwa jika Taurat memang sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan manusia di abad-abad berikutnya maka tidak perlu lagi adanya kedatangan Nabi lain dimana manusia diwajibkan mendengar dan patuh kepadanya. Begitu pula dengan Injil, tidak ada mengandung satu pun pernyataan yang mengemukakan bahwa ajaran yang dibawanya telah sempurna dan komprehensif. Bahkan jelas ada pengakuan
Yesus bahwa masih banyak yang harus disampaikan kepada para murid beliau namun mereka belum kuat menanggungnya, tetapi jika nanti sang Penghibur atau Roh Kebenaran
(Paraclete) telah datang maka ia akan memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran2. Dengan demikian jelas bahwa Nabi Musa a.s. pun mengakui masih kurang sempurnanya kitab Taurat dan memintakan perhatian umatnya kepada seorang Nabi yang akan datang. Begitu pula dengan Nabi Isa a.s. yang mengakui kekurang-sempurnaan ajaran yang beliau bawa karena saatnya belum tiba untuk dibukakannya ajaran yang sempurna, tetapi juga mengingatkan bahwa jika nanti Paraclete sudah turun maka ia itulah yang akan memberikan ajaran yang sempurna. Sebaliknya dengan Al-Quran yang tidak ada
meninggalkan persoalan terbuka untuk diselesaikan oleh kitab lainnya sebagaimana halnya dengan Taurat dan Injil, bahkan mengumandangkan kesempurnaan ajaran yang dikandungnya dengan firman:“Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagi manfaatmu,
dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku sukai bagimu Islam sebagai agama”. (S.5 Al-Maidah:4).
Inilah yang menjadi argumentasi pokok yang mendukung Islam sebagai agama yang mengungguli agama-agama lainnya dalam ajaran yang dibawanya sehingga tidak ada agama lain yang bisa dibandingkan dalam kesempurnaan ajaran yang
dikandungnya. Karakteristik kedua daripada Islam yang tidak ada pada agama lain yang juga menjadi bukti kebenarannya adalah agama ini memanifestasikan karunia dan mukjizat yang hidup. Tandatanda yang diperlihatkan Islam tidak saja mengukuhkan
kelebihannya di atas agama lain tetapi juga menjadi daya tarik
bagi kalbu manusia melalui penampakan Nur-nya yang sempurna. Karakteristik pertama Islam sebagaimana dijelaskan di atas yaitu mengenai kesempurnaan ajaran yang dibawanya, belumlah cukup konklusif untuk meneguhkan bahwa Islam adalah agama benar yang diturunkan oleh Allah s.w.t. Seorang lawan yang fanatik dan berpandangan cupat, bisa saja mengatakan bahwa bisa jadi agama itu sempurna namun belum tentu
berasal dari Tuhan. Karakteristik yang pertama memang bisa memuaskan seorang pencari kebenaran yang bijak setelah diombang-ambingkan oleh berbagai keraguan, membawanya
lebih dekat kepada suatu kepastian, namun belum mengukuhkan permasalahannya secara konklusif jika belum dirangkaikan dengan karakteristik kedua. Melalui rangkaian kedua
karakteristik itu maka Nur agama yang benar mencapai kesempurnaannya. Agama yang benar mengandung ribuan bukti dan Nur, namun dua karakteristik tersebut cukuplah
kiranya memberi keyakinan bagi hati seorang pencari kebenaran dan menjelaskan permasalahannya sehingga memuaskan mereka yang menyangkal kebenaran. Tidak ada
lagi yang diperlukan sebagai tambahan. Pada awalnya aku bermaksud mengemukakan tigaratus argumentasi dalam buku Barahin Ahmadiyah. Tetapi setelah direnungi lebih lanjut, aku merasa dua karakteristik ini bisa menggantikan ribuan buktibukti lain dan karena itu Allah s.w.t. menjadikan aku merubah rencanaku itu.
(Barahin Ahmadiyah, bag. V, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 21, hal. 3-6, London, 1984)
Read More...

Al Quran Sebagai Pedoman Hidup

Al-Qur’an sebagai Kitab Universal

http://narasumberislam.blogspot.com/2008/01/al-quran-sebagai-kitab-universal.html
Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan secara logika tidak mungkin merupakan Kitab yang sempurna. Kitab yang ada tentunya seperti buku pelajaran abjad atau alfabet bagi anak-anak yang baru mengenal huruf. Pasti untuk pelajaran yang bersifat sangat mendasar demikian tidak diperlukan kemampuan yang luar biasa. Ketika pengalaman umat manusia berkembang dan banyak dari antara mereka yang kemudian menyimpang, diperlukan petunjuk yang lebih terinci.

Apalagi ketika kegelapan ruhani sudah demikian meluas dan kalbu manusia menjadi terjerat dalam berbagai bentuk penyelewengan intelektual dan pengamalan. Pada saat seperti itu diperlukan ajaran yang lebih tinggi dan sempurna sebagaimana yang dibawa Al-Qur’an.
Di masa awal sejarah manusia tidak diperlukan petunjuk bermutu tinggi karena batin manusia waktu itu masih sederhana dan belum ada kegelapan atau kedurhakaan mengendap di hati mereka. Ajaran yang luhur diperlukan dalam Kitab yang diturunkan di masa penyelewengan yang sangat, guna perbaikan manusia yang terlanjur telah menganut aqidah-aqidah palsu dan dimana perilaku kejahatan telah menjadi kebiasaan sehari-hari. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 70, London, 1984).
* * *
Memang benar bahwa manusia dikaruniai dengan sebuah Kitab yang diwahyukan pada awal penciptaan, namun Kitab itu bukanlah Veda. Mengatakan bahwa Kitab Veda sekarang ini sebagai wahyu dari Allah yang Maha Kuasa, sama saja dengan menghina Wujud-Nya yang Maha Suci. Kalau ada yang bertanya mengapa hanya satu Kitab saja yang diturunkan bagi manusia di masa awal itu dan mengapa tiap bangsa tidak diberikan masing-masing satu Kitab tersendiri, maka jawabannya adalah karena pada awalnya jumlah manusia masih sangat sedikit sehingga bahkan belum bisa dikatakan satu bangsa, sehingga satu Kitab saja sudah cukup bagi mereka.
Ketika umat manusia kemudian berkembang dan menyebar ke seluruh dunia dimana penghuni dari suatu daerah menjadi sebuah bangsa tersendiri, lalu karena faktor jarak tidak memungkinkan lagi satu bangsa tetap berhubungan dengan bangsa lain, kebijakan Ilahi menetapkan bahwa saat itu seharusnya sudah ada Rasul dan Kitab yang tersendiri bagi masing-masing bangsa. Setelah manusia berkembang lebih lanjut dan kemudian tercipta komunikasi beserta sarananya di antara bangsa-bangsa maka Allah yang Maha Agung menetapkan bahwa sewajarnya mereka sekarang menjadi satu bangsa dimana mereka bersama-sama memperoleh satu Kitab saja sebagai pedoman hidup. Dalam Kitab tersebut terkandung perintah bahwa begitu Kitab itu sampai di berbagai belahan bumi, manusia setempat wajib menerima dan mengimaninya. Kitab tersebut bernama Al-Qur’an yang diwahyukan guna mencipta perhubungan di antara berbagai daerah dan bangsa.
Kitab-kitab yang diwahyukan sebelum Al-Qur’an terbatas masing-masing hanya bagi satu bangsa saja. Kitab samawi dan para Rasul telah muncul di antara bangsa Syria, Persia, India, Cina, Mesir dan Roma dimana ajaran yang dibawanya hanya khusus bagi bangsa dimana mereka diturunkan. Yang terakhir dari semua Kitab itu adalah Al-Qur’an yang menjadi Kitab yang bersifat universal dan tidak terbatas bagi satu bangsa saja melainkan bagi seluruh penduduk bumi. Kitab itu diturunkan dengan tujuan antara lain menyatukan seluruh bangsa-bangsa menjadi satu kesatuan. Sekarang ini sudah ada cara-cara dan sarana guna mempersatukan bangsa-bangsa tersebut. Hubungan antar bangsa yang menjadi dasar untuk mengkonversi umat manusia menjadi satu kesatuan telah menjadi demikian mudah dimana tadinya perjalanan membutuhkan waktu bertahun-tahun, sekarang ini bisa dicapai dalam hitung harian. Begitu juga komunikasi yang tadinya bisa mengambil waktu setahun untuk mengkontak satu negeri dengan negeri lain, sekarang ini cukup dalam satu jam saja.
Demikian dahsyatnya revolusi kemajuan yang diikuti derasnya perubahan dalam arus sungai kebudayaan, sehingga menjadi jelas bahwa memang menjadi maksud Tuhan agar segala bangsa yang tersebar di muka bumi ini menjadi satu kesatuan. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an dimana memang hanya Kitab ini saja yang menyatakan bahwa ajarannya itu untuk seluruh bangsa di dunia, sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku Rasul kepada kamu sekalian”“. (S.7 Al-Araf:159).
Di tempat lain dinyatakan:
“Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat”. (S.21 Al-Anbiya:108).
Begitu pula dengan ungkapan dari ayat:
“Maha beberkat Dia yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya supaya ia menjadi pemberi peringatan bagi sekalian alam”. (S.25 Al-Furqan:2).
Tidak ada Kitab samawi lainnya sebelum Al-Qur’an yang mengajukan klaim seperti itu. Masing-masing Kitab tersebut membatasi dirinya hanya bagi bangsanya sendiri. Bahkan Nabi yang dipertuhan umat Kristen juga menyatakan bahwa beliau diutus hanya bagi domba-domba Israil yang hilang.8 Kondisi dunia pada saat kedatangan Hadzrat Rasulullah s.a.w. juga telah membenarkan klaim Al-Qur’an sebagai pesan Ilahi yang bersifat universal dimana pintu penyebaran kebenaran telah dibukakan.
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 74-77, London, 1984).
Read More...

Kiat Mengatasi Krisis Ekonomi Global

Solusi Terhadap Krisis Ekonomi Global

Oleh : Hdh.Mirza Masroor Ahmad

Surat Ar-Ruum ayat 38-41,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
الْمُاللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِن شُرَكَائِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

yang terjemahannya sebagai berikut: “Apakah mereka tidak melihat, bahwa Allah melapangkan rizqi bagi siapa yang dikendaki-Nya, dan menyempitkan ? Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada Tanda-tanda bagi kaum mukminin.
Maka berikanlah kepada kaum kerabat haknya, dan orang miskin, dan orang musafir. Yang demikian itu paling baik bagi orang-orang yang menginginkan keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebahagiaan.
Dan apa yang kamu berikan untuk memperoleh riba supaya bertambah banyak pada harta manusia, padahal harta itu tidak bertambah banyak di sisi Allah, tetapi apa-apa yang kamu berikan sebagai zakat demi menginginkan keridhaan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapat ganjaran yang berlipat ganda.
Allah-lah Yang telah menciptakanmu, kemudian memberi rizqi kepadamu, kemudian Dia mematikan kamu, kemudian Dia menghidupkan kamu. Adakah dari antara tuhan-tuhan sekutumu itu, yang dapat berbuat sesuatu dari hal itu ? Maha Suci Allah dan Maha Tinggi daripada apa yang mereka sekutukan” (30:38-41).

Huzur (Atba) membacakan ayat-ayat Alquran tersebut setelah menilawatkan Surah Al Fatihah, kemudian memulai Khutbah beliau dengan mengingatkan kita sekalian, bahwa Allah, Tuhan kita adalah Ar-Razzaq, yakni Maha Pemberi Rizqi. Dia-lah yang berkenan meningkatkan maupun mengurangi khazanah kekayaan manusia. Namun seorang mukmin sejati tak akan pernah bersusah hati oleh naik turunnya siklus kehidupan; malah akan membuat keimanannya lebih maju apabila Allah Taala berkenan menunjukkan sifat Razzaq-Nya.
Krisis keuangan tengah melanda seluruh dunia sekarang ini. Segala bangsa, negara-negara maju perindustriannya maupun negara-negara berkembang agraris, sama-sama telah jatuh ke dalam jeratan benang kusut ini. Beberapa negara kaya yang sebelumnya menikmati kondisi kuatnya perekonomian mereka sampai-sampai merasa yakin dapat menguasai dunia disebabkan mereka memiliki sumber-sumber teknologi tercanggih (baik di bidang ilmu pengetahuan, pangan, persenjataan, pengobatan maupun keuangan) yang dapat membuat negara-negara lainnya akan sangat bergantung dan tunduk patuh selamanya kepada mereka, kini menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, keambrukan perekonomian mereka. Berbagai bidang perindustrian mereka tumbang. Hal ini disebabkan perekonomian mereka yang dirancang berdasarkan kebijakan yang rapuh, mengalami, kelimbungan, akhirnya menyebabkan krisis ekonomi global. [Namun mereka tidak menyikapinya dengan serius].
Sesungguhnya, pengatur sejati dan Yang Maha Pemberi Rizqi adalah Allah Swt, namun negara-negara superpower tersebut gagal memahami fakta ini. [Besarnya kekuatan sumber daya keuangan mereka hingga saat-saat terakhir kemarin ini, membuat mereka abai terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memutarkan roda kehidupan semesta alam, memiliki kehendak dan iradah-Nya sendiri. Maka datanglah peringatan dalam bentuk berbagai bencana alam seperti badai topan, banjir besar, dlsb, yang orang tak dapat menyelamatkan diri karenanya.
Sistem ekonomi yang mereka jalankan adalah 'artifisial' ciptaan manusia belaka, yang menafi'kan keberadaan Tuhan Semesta Alam. Sehingga konsekwensi dampak negatifnya pun dapat kita saksikan sekarang ini. Malapetaka dari langit maupun bumi bermunculan]. Beberapa solusi yang mereka niatkan untuk menyelamatkan perekonomian mereka boleh jadi mendekati kebenaran, namun sifatnya sementara, dan tidak handal. [Hanya akan menambah-nambah keparahan.
Dilain pihak, menyaksikan semua ini semakin besarlah keimanan kita kepada Allah, Ar-Razzaq. Oleh karena itu, sebagai orang Ahmadi, kita merasa terpanggil untuk mengingatkan dunia, bahwa penyebab utama semua ini adalah dikarenakan mereka sudah jauh dari ajaran sejati Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak peduli akan kewajiban mereka terhadap sesama manusia. Rakus ingin menguasai berbagai sumber daya alam maupun sumber daya manusia negara-negara miskin.
Maka jika mereka ingin mendapatkan solusi yang efektif selamanya, mereka hendaknya memperhatikan aspek [kerohanian] ini. [Gelontoran mega dana talangan (bail out) milyaran dollar seperti yang mereka telah lakukan bukanlah solusi yang permanen, karena sumber dananya dari kocek yang sama, yang sudah mengalami kerugian besar]. Namun sayangnya, berbagai negara [berpenduduk] Muslim pun terlibat dalam praktek yang serupa - alih-alih mengikuti petunjuk Allah yang telah tercantum di dalam Alquran Karim – tanpa merasa bersalah maupun malu-malu.
Malah jika integritas para kepala negara mereka dipertanyakan, mereka itu tiada lain adalah individu-individu yang tidak peduli dengan keprihatinan krisis ini. Mereka sangat mementingkan diri sendiri dan hanya berminat untuk mengisi berbagai rekening bank pribadi mereka.
Begitupun berbagai negara Timur Tengah (yang kaya minyak) tidak menjalankan sistem ekonomi yang sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Tidak jujur dan tidak terbuka dalam menyantuni golongan mereka yang membutuhkan. Meskipun mereka sibuk membangun berbagai infrastruktur yang paling modern untuk kepentingan mereka sendiri; namun mereka tidak memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam mereka untuk membantu berbagai negara Muslim miskin, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Sebaliknya, mereka menginvestasikan keuntungan dan kelebihan harta kekayaan [petro dollar] mereka di berbagai negara Barat demi untuk mengumpulkan bunga uang atas simpanan deposito mereka tersebut. Di lain pihak, karena mereka mengaku negara Islam, maka mereka pun mengembangkan apa yang mereka katakan sebagai sistem bank Islam di berbagai negara mereka hanya untuk pamer belaka; sebab, pada prakteknya sama saja dengan sistem riba dan bunga uang tetapi ditutup-tutupi pemanis, yang sebenarnya tidak mengikuti ajaran Islam, tidak sebagaimana yang diperintahkan di dalam Alquran. Yakni, jika dicermati lebih dalam, tetap saja bersifat riba.
Oleh karena itu dengan ini saya ingatkan, jika kalian menyimpan gunungan dana [petro dollar] milik kalian di berbagai bank negara-negara Barat, maka dana tersebut hanya tersimpan di sana. Tidak terputar untuk sektor yang produktif. Sehingga jika krisis keuangan terjadi, mereka pun segera terkena dampaknya; terpukul mundur (set back).
Sedangkan Allah, Yang Maha Pemberi Rizqi, sebagaimana tercantum di dalam ayat Alquran kedua yang telah dibacakan (Surah Ar-Rum : 39), memerintahkan kaum mukminin untuk membelanjakan harta kekayaan mereka untuk membantu sanak saudara, fakir miskin dan musafir. Inilah tiga golongan masyarakat yang harus dipenuhi hak-haknya agar mereka yang memiliki harta memperoleh dua kebaikan sekaligus, ialah keridhaan Tuhan dan ganjaran pahala yang meningkatan derajat rohani maupun keberhasilan di dunia.
Untuk menjadi mukmin sejati tidak cukup hanya dengan pernyataan di bibir saja, bahwa kami orang Islam. Melainkan teguh keyaqinannya kepada Allah Ar-Razzaq, Yang senantiasa menyantuni semua kebutuhannya; Karena selalu ingat akan sifat Razzaq-Nya ini ia pun tidak ragu-ragu untuk membelanjakan harta kekayaannya sesuai dengan perintah Tuhan. Mereka tidak khawatir akan mengalami kerugian.
Terkait dengan hal ini, hendaknya senantiasa ingat, bahwa seorang Muslim adalah saudara bagi orang Muslim lainnya. Maka kaum Muslimin [di suatu negara] wajib membantu saudaranya sesama kaum Muslimin yang berkekurangan; dan sifat bantuannya itu bukanlah sedekah melainkan sebagai kewajiban tanggung jawab pemahaman agama mereka.
Seandainya berbagai kaum Muslimin kaya tersebut memenuhi tanggung jawab keagamaan mereka – yakni, alih-alih menginvestasikan harta kekayaan mereka di berbagai negara Barat demi untuk mendapatkan bunga uang – tentulah niscaya mereka akan memperoleh ridha Allah Swt. Namun sungguh malang, mereka gagal untuk berbuat amal saleh tersebut. Sehingga mereka pun ikut menderita terkena imbas krisis ekonomi dunia kini.
Huzur (Atba) selanjutnya menerangkan dengan bahasa sederhana akar penyebab terjadinya krisis ekonomi dengan menunjuk kepada fakta berbagai lembaga kreditur keuangan di dunia Barat yang sebenarnya memanfatkan gunungan dana deposito clients millioner [Timur Tengah] mereka untuk pinjaman KPR (Kredit Pemilikan Rumah, mortgage) atau kebutuhan pribadi lainnya. Dana-dana simpanan besar tersebut diobral ke sektor yang tidak produktif sehingga ekonomi tak kunjung menguat karena tidak terciptanya sumber-sumber penghasilan baru. Peraturan pinjamannya diperingan (UM Uang Muka sangat ringan, bahkan ada yang 0% deposito / dana penyerta / kolateral-nya). Sehingga pihak peminjam pun tidak sadar akan kewajiban mereka untuk membayar cicilan plus bunganya serta berapa lama ia harus melunasinya sesuai kontrak. Dikarenakan penghasilan mereka terbatas, manalagi harus menghidupi kebutuhan rumah tangga mereka, maka mereka pun semakin tenggelam ke dalam jebakan lumpur hutang yang membuat mereka mustahil dapat melunasinya. [Sehingga rumah-rumah mereka pun disita oleh bank]. Karena banyak terjadi kredit macet, maka pihak bank pun menghentikan aliran dana pinjaman kredit disebabkan tidak ada arus dana masuk. Bahkan kredit untuk keperluan konsumtif individu (credit card) dibatasi secara drastis. Maka dampaknya adalah krisis ekonomi global.
Jika ada suatu negara yang mengatakan mereka tidak terkena dampak resesi tersebut (seperti kata beberapa negara Timur Tengah) adalah tidak benar. Sebab, nilai investasi dana-dana mereka di luar negeri sebenarnya menjadi merosot; dan sumber daya alam andalan utama mereka pun, yakni minyak bumi merosot tajam.
Suatu ulasan editorial terbaru [di suatu media cetak] yang berjudul 'Lautan Hutang” (“The Sea of Debt”) menyebutkan, raksasa ekonomi Amerika Serikat kini tengah tenggelam semakin dalam. Apapun yang mereka sedang usahakan tetap tidak akan banyak menolong, sehingga sangat mustahil untuk dapat muncul kembali dengan mudah. Dan nyatanya, seluruh dunia pun menghadapi situasi yang sama. Khususnya di Amerika Serikat, dimana penggunaan credit card orang perorang telah sangat umum, mereka terus menggunakannya tanpa batas; jauh melebihi kemampuan mereka untuk membayarnya. Sehingga dana kredit jenis jumlahnya sangat dibatasi, konsumen membatalkan niat belanja mereka. Penjualan mobil merosot tajam, berperjalanan dengan pesawat terbang banyak yang dibatalkan. Hal ini berdampak kepada merosotnya konsumsi BBM, yang menyebabkan harga minyak mentah dunia jatuh.
Pendek kata aspek 'demand' saat ini anjlok, maka sektor 'supply' pun mandeg. Orang pada umumnya mengurangi belanja yang bersifat diluar kebutuhan pokok, misalnya wisata atau makan di restoran dan yang bersifat hiburan lainnya (entertainment), sehingga hal ini menambah depresi, baik dalam arti ekonomi naupun semacam gangguan kejiwaan.
Oleh karena itu Allah Taala memfirmankan, mereka yang menjadikan riba bunga uang sebagai sumber penghasilan sama halnya dengan mereka yang telah terkecoh oleh Syaitan menjadi seperti orang-orang yang tidak waras (2:276).
Di tempat lain, Allah Taala menyatakan, riba haram. Penggunaan uang riba dapat menyebabkan orang jatuh ke dalam jebakan lingkaran syaitan, yang membuatnya sangat sulit untuk membebaskan diri.
Huzur (Atba) kemudian mengutip sebuah ungkapan anekdot di kalangan para ahli keuangan: “Bila tetanggaku kehilangan pekerjaan itu artinya resesi ekonomi. Tapi bila aku sendiri yang menjadi kehilangan pekerjaan, itu namanya depresi.” Resesi bersifat sementara, sedangkan depresi permanen. [Huzur menambahkan, maksudnya depresi disini pun menyiratkan kepada istilah gangguan kejiwaan].
Anekdot ini merujuk tepat kepada situasi degradasi mental yang kini tengah mengglobal disebabkan ratusan ribu demi ratusan ribu orang yang menjadi penganggur.
Huzur (Atba) selanjutnya memperingatkan dunia dengan kata-kata yang lebih tegas: 'Seandainya masih ada sedikit saja akal sehat yang tertinggal di dalam diri tuan-tuan, tentulah tuan akan meninggalkan penggunaan uang riba'. Sebaliknya, putarlah kelebihan dana yang tuan miliki di dalam bisnis atau perdagangan sebagaimana dianjurkan di dalam Islam; yang negara-negara Muslim hendaknya memperlihatkan contohnya.
Huzur kemudian menunjukkan contoh seperti negara Pakistan dan beberapa negara Afrika yang kepala negaranya menjadi sangat korup dan tidak setia kepada negara, yang hanya menambah kobaran api [malapetaka]. Negara-negera seperti itu bisa survive hanya dikarenakan adanya pinjaman dana luar negeri dari beberapa negara kaya meskipun mereka sendiri tidak tahu pasti bagaimana cara mengembalikannya.
Sebenarnya Pakistan atau negara-negara lain semacamnya tersebut dikaruniai berbagai sumber kekayaan alam, namun sayang mereka sudah terjebak ke dalam kebiasaan tak bermalu mengemis-ngemis pinjaman kredit. Pokok permasalahannya adalah karena mereka sudah melupakan ajaran Allah Swt, sehingga menjadi sasaran hukuman-Nya yang lebih besar.
Sistem yang melibatkan riba hanya memperlebar jurang antara si kaya dengan si miskin. Sedangkan sistem Islam, yakni sistem Zakat dapat menciptakan hubungan harmonis antar golongan masyarakat.
Oleh karena itu setiap orang, khususnya orang Islam segeralah hentikan kebiasaan meminjam uang / kredit; hal ini niscaya akan dapat memperbaiki krisis ekonomi pada setiap periode beberapa tahun.
Di dalam ayat-ayat Alquran yang telah dibacakan di awal Khutbah tadi (30:41), Allah Taala tidak hanya menciptakan kita umat manusia, melainkan juga mencukupi rizkinya; akan tetapi dengan syarat apabila bila kita menjalankan perintah-Nya.
Berbagai ketidak-stabilan dan rasa frustrasi yang akhirnya mendorong naluri berperang manusia, yang kini tengah terjadi di mana-mana – atas nama untuk demi untu menegakkan demokrasi – memang tak tampak sebagai invasi untuk menguasai teritorial suatu negara, melainkan untuk menguasai sumber kekayaan alamnya. Dan kemudian mereka pun harus membayar biaya pasukan penjaga keamanannya.
Hal pemicu naluri berperang ini pun disebabkan sebagian besar kekayaan dunia hanya berputar di tangan segelintir orang yang beruntung. Sedangkan mayoritas yang tidak beruntung hanya dapat terpana, menyaksikan dari kejauhan; tanpa pernah mendapat kesempatan untuk memperoleh bagian mereka. Penyebab lain hancurnya kedamaian dunia sekarang ini adalah fakta negara-negara kaya yang hanya tergiur kepada sumber-sumber kekayaan alam dan sumber daya manusia negara-negara miskin [dengan cara mengexploitasinya] demi untuk kepentingan mereka sendiri, yang sangat dikutuk oleh ajaran Islam.
Huzur (Atba) bersabda, dunia hendaknya dapat memahami kiat-kiat jitu untuk menghentikan krisis ekonomi, yang adalah sebagai berikut:
1. Mulailah belajar berdikari; memanfaatkan berbagai kapasitas yang ada pada diri saudara, baik untuk tingkat pribadi maupun untuk tingkat nasional. Bersyukurlah dengan apa-apa yang anda miliki; jangan tergiur hawa nafsu untuk memiliki rumah yang lebih besar atau mobil yang lebih bagus, yang hanya akan menjerumuskan saudara ke dalam jebakan sistem pinjaman berbunga.
2. Hindarilah praktek penggunaan riba.
3. Negara-negara kaya hendaknya melepaskan cengkeraman mereka atas sumber-sumber kekayaan alam negara-negara miskin. Sebaliknya, negara-negara miskin hendaknya teguh kepada keyakinan diri mereka, bahwa sumber-sumber kekayaan alam mereka hanya untuk mensejahterakan bangsa dan negara mereka sendiri, meskipun ada usaha-usaha intervensi international untuk menguasainya.
4. Para kepala negara [negara berkembang] hendaknya setia dan berjiwa negarawan (patriotik, pahlawan) dalam mengurus negara mereka.
5. Hak-hak dan kewajiban kaum miskin harus dipenuhi.
Kiat jitu ini adalah berdasarkan ajaran Islam. Dengan kata lain, Islam-lah yang mampu menyajikan solusi terbaik untuk mengatasi krisis yang kini tengah melanda seluruh dunia.
Huzur (Atba) bersabda, Taqwa adalah akar segalanya bila saudara-saudara ingin menjadi sejahtera. Oleh karena itu, tak ada cara lain untuk menyelamatkan diri jika kita tidak mengindahkan firman Tuhan dan seruan Imam Mahdi a.s. yang adalah Imam Zaman untuk masa kini.
Selanjutnya Huzur (Atba) membacakan beberapa tulisan Hadhrat Masih Mau'ud a.s. , yang mengingatkan kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah Swt, yang telah berkenan memberikan sinar petunjuk-Nya, menurunkan air kehidupan rohani yang memang sangat dibutuhkan di mana-mana demi untuk keselamatan kita semua saat ini maupun di masa yang akan datang.
Semoga Allah Taala menunjuki dunia ke jalan yang lurus dan memudahkan mereka untuk menjalankan ajaran Islam yang sejati, Amin.
Read More...

Cara Mengenali Agama Yang benar

Mengenali Agama Yang Benar

Agar bisa mengenali apa yang dimaksud sebagai agama yang benar, kita perlu melihat tiga hal. Pertama adalah melihat apa yang menjadi ajaran agama itu mengenai Tuhan. Yang dimaksud adalah bagaimana pandangan agama itu berkaitan dengan Ke-Esa-an, kekuatan, pengetahuan, kesempurnaan,keagungan, pengganjaran hukuman, pemberian rahmat dan sifat-sifat Ilahi lainnya.

Kedua, perlu bagi seorang pencari kebenaran untuk menanyakan apa yang diajarkan agama bersangkutan berkaitan dengan dirinya sendiri. Apakah ada dari antara ajaran agama itu yang akan mencederai hubungan antar manusia, atau menyebabkan manusia melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan kepatutan dan kehormatan, atau bertentangan dengan hukum alam, atau tidak mungkin dapat dipatuhi atau dilaksanakan, atau bahkan membahayakan jika dikerjakan. Juga perlu memperhatikan apakah ada ajaran-ajaran penting bagi pengendalian kesemrawutan, malah ditinggalkan.Begitu pula, perlu kiranya mengetahui bagaimana agama itu mempresentasikan Tuhan sebagai yang Maha Pengasih, dengan Wujud mana hubungan harus dihidupkan dan apakah ada mengatur petunjuk-petunjuk yang akan menuntun seseorang dari kegelapan kepada pencerahan, dari keadaan acuh menjadi eling ( selalu ingat). Ketiga, perlu bagi seorang pencari kebenaran untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Tuhan yang dipresentasikan oleh suatu agama bukanlah sosok yang didasarkan pada kisah dan dongeng atau menyerupai barang mati. Beriman kepada sosok tuhan yang menyerupai benda mati dimana keimanan kepadanya bukan karena adanya manifestasi dirinya tetapi karena rekayasa fikiran manusia, sepertinya menyudutkan Tuhan yang sebenarnya. Tidak ada gunanya beriman kepada Tuhan yang kekuasaan-Nya tidak bisa dirasakan dan yang Dia sendiri tidak memanifestasikan tanda-tanda eksistensi-Nya. (Nasimi Dawat, Qadian, Ziaul Islam Press, 1903; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 19, hal. 373-373, London, 1984).
Read More...